Minggu, 05 Mei 2013

Padu Padan Tenun NTT dari Stephanus Hamy

Stephanus Hamy tampil sebagai pembuka event mode
"Fashiontastic EtnoNesia" yang digelar
Pondok Indah Mall 2, Jakarta, Jumat (3/5/2013) lalu.
KOMPAS.com - Perancang yang dikenal setia mengolah wastra Indonesia, Stephanus Hamy, tampil sebagai pembuka event mode bertema "Fashiontastic EtnoNesia" yang digelar Pondok Indah Mall 2, Jakarta, Jumat (3/5/2013) lalu. Sebanyak 32 koleksi padupadan rancangan Hamy menggunakan kain tenun dari Nusa Tenggara Timur, khususnya daerah Sikka dan Sumba Timur.
"Kain yang dipakai adalah hasil modifikasi, motifnya sudah dicampur dan lebih sederhana. Koleksinya lebih untuk padupadan. Jadi ciri khasnya bisa dipadupadankan," jelas Sabena, asisten Stephanus Hamy kepada KompasFemale.
Pada pagelaran tersebut memang terlihat permainan mix and match kain tenun dengan celana kulot atau rok overlap yang tetap memberikan sentuhan feminin. Detail dimainkan

Jumat, 31 Agustus 2012

Sumba on show in Bali


By hand: Francesca Kay (right) with one of her hand dyed, hand loomed ikats. These take five months to create, yet sell for less than US$150, earning Francesca just a dollar a day
Floating in the Savu Sea at the feet of Sumbawa and Flores is the remote island of Sumba. Its distance from Indonesia’s major population and tourism centers of Java and Bali has protected Sumba’s ancient culture and traditions; Sumba is the only place in the world that still has megalithic burial practices and much of the population still holds to the Marapu animist belief system of ancestral worship. The story of this faith that dates back millennia is written in the weavings and sculptures of Sumba, according to 55-year-old Umbu Charma, a Sumbanese living in Bali and taking part in the “Many Cultures of Sumba —

Selasa, 10 Juli 2012

Tenun Ikat Sumba Diusulkan Menjadi Warisan Budaya Tak benda ke UNESCO


SBY dengan Kain Tenun Ikat
JAKARTA, (PRLM) - Pemerintah mengusulkan Tenun Ikat Sumba sebagai warisan budaya takbenda ke UNESCO pada 2013. Pertimbangan dari pengusulan ini antara lain pertimbangan kemanfaatan yang akan diterima masyarakat, baik manfaat perlindungan, pelestarian, pengembangan, maupun manfaat pendapatan bagi masyarakat setempat.
“Saya memohon dukungan dari rakyat Indonesia untuk tenun ikat ini,” ujar Wakil Mendikbud bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti pada sela-sela diskusi mengenai pengusulan tenun ikat Sumba sebagai warisan budaya takbenda ke UNESCO pada 2013, bertempat di Gedung A Kemdikbud Senayan, Jakarta, Senin (16/4/12) sore.
Tampak hadir, Ketua Cita Tenun Indonesia Ny. Okke Hatta Rajasa, Direktur UNESCO Jakarta Office Hubert Gijzen, dan Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman.

Senin, 02 Juli 2012

Mengapa Kain Tradisional Mahal?


"Wajar saja kalau kain tradisional punya harga yang mahal, karena semuanya dibuat manual dengan tangan dan bukan mesin," ungkap Lusia Leburaya, Ketua Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) Nusa Tenggara Timur beberapa waktu lalu di Jakarta.
Menurut Lusia, harga jual yang cukup tinggi ini lebih merupakan penghargaan atas jerih payah para perajin kain, karena kain-kain tersebut dibuat melalui proses pemikiran dan kreativitas yang panjang. Selain itu, proses pembuatan dan pewarnaannya juga amat menentukan harga jualnya. Namun bagaimana sebenarnya proses pembuatan kedua jenis kain ini menentukan harganya?
1. Batik
Ada dua jenis batik berdasarkan teknik pembuatannya, yaitu batik cap dan batik tulis (satu jenis batik lagi, batik print, tidak akan dibahas di sini). Seperti diketahui, batik tulis memiliki harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan batik cap. Hal ini dikarenakan proses pembuatannya yang butuh waktu lama dan ketelitian untuk melukis setiap lembar kain dengan malam (lilin) dan canting.

Tenun Ikat Khas Waingapu Sumba Timur, NTT

Jakarta, VOI Fitur - Tenun ikat merupakan salah satu hasil kerajinan tangan masyarakat Waingapu di kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Membuat kain tenun ikat merupakan kebiasaan wanita Waingapu sejak ratusan tahun lalu. Hingga kini, mereka membuat kerajinan ini untuk dipakai sendiri ataupun dijual ke orang lain. Hendrik Pali, salah seorang warga Lambanapu, Waingapu menceritakan, masyarakat Waingapu pada awalnya menjadikan tenun ikat sebagai satu perlengkapan penting dalam acara adat istiadat, seperti pernikahan ataupun upacara penobatan raja.